Kamis, 16 Desember 2010

Penentuan Tekanan Osmosis Cairan Sel


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita berhadapan dengan peristiwa difusi dan osmosis, baik kita sadari maupun tidak kita sadari. Contohmya pada saat kita menyeduh teh celup dalam kemasan kantong, warna dari teh tersebut akan menyebar. Hal ini disebabkan oleh  konsentrasi teh dalam gelas lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi teh yang ada di dalam kantong teh tersebut. Peristiwa tersebut sering kita sebut sebagai difusi.
Begitu pula pada tumbuhan, yang menyerap air dan zat hara yang diperlukan dari lingkungan melalui proses difusi, osmosis, maupun imbibisi. Peristiwa tersebut dapat berlangsung dengan baik jika terdapat perbedaan tekanan potensial air yang sangat besar antara larutan di luar sel tumbuhan dengan larutan di dalam sel tumbuhan tersebut.
Tunbuhan mempunyai membran plasma yang jika dimasukkan dalam larutan dengan konsentrasi tinggi akan mengalami plasmolisis, yaitu tearlepasnya membran plasma dari dinding sel akibat tekanan osmotik. Pada praktikum kali ini kita akan mencoba mencari pada konsentrasi berapakah sel akan mengalami plasmolisis dengan prosentase jumlah sel yang terplasmolisis mencapai 50%. Selain itu kita juga akan menghitung tekanan osmotik dari sel tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh konsentrasi larutan sukrosa terhadap prosentase sel yang terplasmolisis?
2.   Pada konsentrasi larutan sukrosa berapakah yang dapat menyebabkan sel epidermis Rhoe discolor mengalami plasmolisis sebesar 50% ?
3.   Berapakah tekanan osmisis cairan sel epidermis Rhoe discolor tersebut?

C. Tujuan
1.   Menjelaskan pengaruh konsentrasi larutan sukrosa terhadap prosentase sel epidemis Rhoe discolor yang terplasmolisis.
2.   Mengidentifikasi konsentrasi larutan sukrosa yang menyebabkan 50% dari jumlah sel epidermis Rhoe discolor mengalami plasmolisis.
3.   Menentukan tekanan osmosis cairan sel dengan metoda plasmolisis.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


Menurut Bidwell (1979) molekul air dan zat terlarut yang berada dalam sel selalu bergerak. Oleh karena itu terjadi perpindahan terus-menerus dari molekul air, dari satu bagian ke bagian yang lain.
Perpindahan molekul-molekul itu dpat ditinjau dari dua sudut. Pertama dari sudut sumber dan dari sudut tujuan. Dari sudut sumber dikatakan bahwa terdapat suatu tekanan yang menyebabkan molekul-molekul menyebar ke seluruh jaringan. Tekanan ini disebut dengan tekanan difusi. Dari sudut tujuan dapat dikatakan bahwa ada sesuatu kekurangan (deficit akan molekul-molekul. Hal ini dibandingkan dengan istilah daerah surplus molekul dan minus molekul. Ini bararti bahwa di sumber itu ada tekanan difusi positif dan ditinjau adanya tekanan difusi negatif. Istilah tekanan difusi negatif dapat ditukar dengan kekurangan tekanan difusi atau deficit tekanan difusi yang disingkat dengan DTD (Dwijo, 1985).
Difusi adalah gerakan partikel dari tempat dengan potensial kimia lebih tinggi ke tempat dengan potensial kimia lebih rendah karena energi kinetiknya sendiri sampai terjadi keseimbangan dinamis (Indradewa, 2009). Senada dengan itu, Agrica (2009) menjelaskan bahwa difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara.
Prinsip dasar yang dapat kita pegang mengenai peristiwa difusi ini adalah difusi terjadi sebagai suatu respon terhadap perbedaan konsentrasi.
Suatu perbedaan terjadi apabila terjadi perubahan konsentrasi dari suatu keadaan ke keadaan lain. Selain perbedaan konsentrasi, perbedaan dalam sifat dapat juga menyebabkan difusi. Proses pertukaran gas pada tumbuhan yang terjadi di daun adalah suatu contoh proses difusi. Dalam proses ini gas CO2 dari atmosfir masuk ke dalam rongga antar sel pada mesofil daun yang selanjutnya digunakan untuk proses fotosintesis (Tim Fisiologi Tumbuhan, 2009).
Laju difusi antara lain tergantung pada suhu dan densitas (kepadatan) medium. Gas berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan zat cair, sedangkan zat padat berdifusi lebih lambat dibandingkan dengan zat cair. Molekul berukuran besar lebih lambat pergerakannya dibanding dengan molekul yang lebih kecil. Pertukaran udara melalui stomata merupakan contoh dari proses difusi. Pada siang hari terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan O2 sehingga konsentrasi O2 meningkat. Peningkatan konsentrasi O2 ini akan menyebabkan difusi O2 dari daun ke udara luar melalui stomata. Sebaliknya konsentrasi CO2 di dalam jaringan menurun (karena digunakan untuk fotosintesis) sehingga CO2 dari udara luar masuk melalui stomata. Penguapan air melalui stomata (transpirasi) juga merupakan contoh proses difusi. Di alam, angin, dan aliran air menyebarkan molekul lebih cepat dibanding dengan proses difusi (Anonymous a, 2009).
Apabila ada dua bejana yang satu berisi air murni dan bejana lain diisi dengan larutan, apabila kedua bejana ini kita hubungkan, lalu diantara kedua bejana diletakkan membran semipermeabel, yaitu membran yang mempu melalukan air (pelarut) dan menghambat lalunya zat-zat terlarut. Pada proses ini air berdifusi ke bejana yang berisi larutan sedangkan larutan terhalang untuk berdifusi ke bejana murni. Proses difusi ini disebut dengan osmosis (Tim Fisiologi Tumbuhan, 2009).
Osmosis adalah suatu topik yang penting dalam biologi karena fenomena ini dapat menjelaskan mengapa air dapat ditransportasikan ke dalam dan ke luar sel (Fetter, 1998).
Osmosis merupakan suatu fenomena alami, tapi dapat dihambat secara buatan dengan meningkatkan tekanan pada bagian dengan konsentrasi pekat menjadi melebihi bagian dengan konsentrasi yang lebih encer. Gaya per unit luas yang dibutuhkan untuk mencegah mengalirnya pelarut melalui membran permeabel selektif dan masuk ke larutan dengan konsentrasi yang lebih pekat sebanding dengan tekanan turgor. Tekanan osmotik merupakan sifat koligatif, yang berarti bahwa sifat ini bergantung pada konsentrasi zat terlarut, dan bukan pada sifat zat terlarut itu sendiri (Agrica,2009).
Tekanan yang diberikan pada air atau larutan, akan meningkatkan kemampuan osmosis dalam larutan tersebut. Tekanan yang diberikan atau yang timbul dalam system ini disebut potensial tekanan, yang dalam tumbuhan potensial ini dapat timbul dalam bentuk tekanan turgor. Nilai potensial tekanan dapat positif, nol, maupun negatif.
Selain potensial air (PA) dalam potensial tekanan (PT) osmosis juga dipengaruhi tekanan osmotic (PO). Potensial osmotic dari suatu larutan lebih menyatakan sebagai status larutan. Status larutan biasa kita nyatakan dalam bentuk satuan konsentrasi, satuan tekanan, atau satuan energi. Hubungan antara potensial air (PA) dan potensial tekanan (PT), dan potensial osmotic (PO) dapat dinyatakan dengan hubungan sebagai berikut:
PA = PO + PT
Dari rumus di atas dapat terlihat bahwa apabila tidak ada tekanan tambahan (PT), maka nilai PA = PO
Untuk mengetahui nilai potensial osmotic cairan sel, salah satunya dapat digunakan metode plasmolisis. Jika potensial air dalam suatu sel lebih tinggi dari pada potensial air yang ada di sekitar sel atau di luar sel, maka air akan meninggalkan sel sampai potensial air yang ada dalam sel maupun di luar sel sama besar. Protoplas yang kehilangan air itu menyusut volumenya dan akhirnya dapat terlepas dari dinding sel, peristiwa tersebut biasa kita kenal dengan istilah plasmolisis.
Metode plasmolisis dapat ditempuh dengan cara menentukan pada konsentrasi sukrosa berapakah yang mengakibatkan jumlah sel yang terplasmolisis mencapai 50%. Pada kondisi tersebut dianggap konsentrasinya sama dengan konsentrasi yang dimiliki oleh cairan sel. Jika konsentrasi larutan yang menyebabkan 50% sel terplasmolisis diketahui, maka tekanan osmosis sel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
TO sel = 22,4 x M x T
              273
Dengan :       TO = Tekanan Osmotik
M = Konsentrasi larutan yang menyebabkan 50% sel terplasmolisis
                     T    = Temperatur mutlak (273 + t°C)
(Tim fisiologi tumbuhan. 2010).
Sitoplasma biasanya bersifat hipertonis (potensial air tinggi), dan cairan di luar sel bersifat hipotonis (potensial air rendah), karena itulah air bisa masuk ke dalam sel sehingga antara kedua cairan bersifat isotonus. Apabila suatu sel diletakkan dalam suatu larutan yang hipertonus terhadap sitoplasma, maka air di dalam sel akan berdifusi ke luar sehingga sitoplasma mengkerut dan terlepas dari dinding sel, hal ini disebut plasmolisis. Bila sel itu kemudian dimasukkan ke dalam cairan yang hipotonus, maka air akan masuk ke dalam sel dan sitoplasma akan kembali mengembang hal ini disebut deplasmolisis (Tim fisiologi tumbuhan. 2009).
.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang kami gunakan adalah eksperimen karena menggunakan beberapa variabel yaitu variabel kontrol, variabel manipulasi dan variabel respon. Selain itu juga menggunakan pembanding dalam penelitian.

B. Variabel Penelitian
a)      Variabel kontrol:
-          Jenis sel sama, yaitu  sel epidermis Rhoe discolor.
-          Jumlah sayatan epidermis Rhoe discolor yaitu selapis sayatan.
-          Perbesaran mikroskop 10x
-          Waktu perendaman sayatan epidermis dalam larutan sukrosa yaitu 30 menit.
b)      Variabel manipulasi: konsentrasi larutan sukrosa.
c)      Variabel respons:
-          Jumlah sel epidermis Rhoe discolor yang terlihat.
-          Jumlah sel epidermis Rhoe discolor yang terplasmolisis.
-          Jumlah prosentase sel epidermis Rhoe discolor yang terplasmolisis.
-          Konsentrasi larutan sukrosa yang menyebabkan 50% sel epidermis Rhoe discolor terplasmolisis.
-          Teknan osmosis
-           
C. Alat dan Bahan
  1. daun Rhoe discolor yang jaringan epidermisnya mengndung cairan sel yang berwarna.
  2. Larutan sukrosa dengan molaritas 0,28 M ; 0,26 M ; 0,24 M ; 0,22 M ; 0,20 M ; 0,18 M ; 0,16 M ; 0,14 M.
  3.  Mikroskop.
  4. Kaca arloji atau cawan petri 8 buah.
  5. Kaca benda dan kaca objek.
  6. pisau atau silet.
  7. Gelas beaker 100 ml.
  8. Pipet.

D. Langkah Kerja
  1. Membuat larutan sukrosa dari konsentrasi yang terbesar yaitu 0,28 M dengan cara melarutkan kristal sukrosa yang telah ditimbang sebanyak 95,76 gram ke dalam aquades sehingga volumenya menjadi 1 liter. Sedangkan untuk membuat larutan sukrosa dengan konsentrasi yang lebih rendah, dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
V1.M1 = V2.M2
            Dengan : V1 = volume awal; M1 = konsentrasi awal;
                           V2 = volume akhir; M2 = konsentrasi akhir.
  1. Menyiapkan 8 buah cawan petri dan mengisinya masing-masing dengan 5 mL larutan sukrosa yang telah disediakan dan memberi label pada masing-masing cawan petri berdasarkan konsentrasinya.
  2. Mengambil epidermis Rhoe discolor, kemudian menyayat atau mengiris lapisan epidermisnya yang berwarna ungu dengan pisau atau silet dan mengusahakan hanya menyayat selapis sel.
  3. Merendam sayatan-sayatan epidermis tersebut pada cawan petri yang sudah berisi larutan sukrosa konsentrasi tertentu dengan jumlah sayatan yang sama dan memberi selang waktu beberapa menit di antara memasukkan sayatan pada cawan petri satu ke cawan petri yang lain dan mencatat waktu mulai perendamannya.
  4. Setelah 30 menit, mengambil sayatan yang telah direndam pada cawan petri  dan memeriksanya dengan menggunakan mikroskop.
  5. Menghitung jumlah seluruh sel yang pada satu bidang lapang pandang, jumlah sel yang terplasmolisis dan prosentase jumlah sel yang terplasmolisis terhadap jumlah sel seluruhnya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Tabel pengaruh konsentrasi larutan sukrosa terhadap
 Sel Epidermis Rhoe discolor
No.
Konsentrasi sukrosa
(M)
Ʃ sel seluruhnya
Ʃ sel terplasmolisis
% sel terplasmolisis
1.
0,28
49
49
100,00
2.
0,26
37
30
81,08
3.
0,24
45
20
44,44
4.
0,22
42
17
40,48
5.
0,20
38
14
36,84
6.
0,18
40
13
32,50
7.
0,16
49
15
30,61
8.
0,14
49
12
24.49



B. Analisis Data
Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat dianalisa sebagai berikut:
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,28 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 49 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 49 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 100%.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,26 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 37 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 30 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 81,08 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,24 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 45 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 20 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 44,44 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,22 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 42 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 13 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 40,48 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,20 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 38 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 14 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 36,84 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,18 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 40 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 13 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 32,50 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,16 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 49 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 15 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 30,61 %.
-          Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,14 M, sel epidermis Rhoe discolor terlihat sebanyak 49 sel, dan yang mengalami plasmolisis sebanyak 12 sel dengan prosentase sel terplasmolisis sebesar 24,49 %.
Analisis Grafik :
-       Pada konsentrasi larutan sukrosa 0,243 M, sel epidermis Rhoe discolor yang terplasmolisis mencapai 50% dari jumlah sel epidermis.
-       Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, semakin tinggi prosentase sel yang terplasmolisis.

C. Pembahasan
Dari hasil analisa di atas maka dapat diperoleh bahwa semakin pekat konsentrasi larutan sukrosa yang digunakan untuk merendam sayatan epidermis Rhoe discolor maka semakin banyak pula sel epidermis yang terplasmolisis. Hal tersebut dapat terjadi akibat dari perbedaan potensial air di dalam dan di luar sel. Potensial air yang ada di dalam sel lebih besar dari pada potensial air yang ada di luar sel. Oleh karena potensial air berbanding lurus dengan potensial osmosis, maka potensial osmosis yang ada di dalam sel juga lebih besar dari pada potensial osmosis yang ada di luar sel. Hal inilah yang menyebabkan berpindahnya molekul air di dalam sel menuju ke luar sel yang dalam praktikum kali ini molekul air berpindah dari sel epidermis Rhoe discolor menuju ke larutan sukrosa, sehingga menyebabkan protoplas sel epidermis kehilangan air, menyusut volumenya (sel menjadi mengerut) dan akhirnya terlepas dari dinding sel, peristiwa yang terjadi pada sel epidermis Rhoe discolor ini biasa disebut dengan Plasmolisis.
Pada konsentrasi larutan sukrosa  0,243 M jumlah sel yang mengalami plasmolisis telah mencapai 50%. Hal tersebut menandakan bahwa dalam kondisi tersebut merupakan kondisi yang isotonic, dimana dalam kondisi tersebut potential air yang ada di dalam sel epidermis Rhoe discolor maupun di luar sel (pada larutan sukrosa) menjadi sama, sehingga tidak terjadi lagi difusi air karena air yang masuk ke dalam sel epidermis Rhoe discolor dan air yang keluar meninggalkannya terdapat dalam jumlah yang sama atau dapat dikatakan terjadi keseimbangan dinamis. Jika potensial di dalam sel dan di luar sel sama, maka besarnya potensial osmosis yang ada di dalam dan di luar sel juga akan sebanding atau sama.
Setelah diketahui bahwa pada konsentrasi   M, jumlah sel epidermis Rhoe discolor mencapai 50%, maka dapat dihitung nilai tekanan osmosis yang ada pada sel epidermis Rhoe discolor:
TO = 22,4 x M x T
          273
                       = 22,4 x 0,243 x (273 +28°C)
                          273
   = 6  atm

D. Diskusi
Plasmolisis dapat terjadi karena terlepasnya membran sel dari dinding sel akibat air yang ada di dalam dinding sel terus keluar sampai terjadi keseimbangan antara potensial air yang ada di dalam dan di luar sel. Berdasarkan data yang telah diperoleh maka dapat diketahui bahwa dengan semakin pekat atau tingginya konsentrasi larutan sukrosa maka semakin  banyak pula sel yang mengalami plasmolisis. Hal tersebut disebabkan oleh potensial air yang ada di dalam sel epidermis Rhoe discolor lebih besar dari pada di luar sel (larutan sukrosa), dan oleh karena potensial air berbanding lurus dengan potensial osmotiknya, maka potensial yang ada di dalam sel epidermis Rhoe discolor juga akan lebih besar dibandingkan dengan potensial osmosis yang ada di luar sel.
Sel yang mengalami plasmolisis akan mencapai 50% dari jumlah keseluruhan sel yang tampak pada satu lapang pandang jika konsentrasi larutan sukrosa 0,243 M, karena pada kondisi tersebut potensial air yang ada di dalam sel epidermis Rhoe discolor maupun di luar selnya menjadi sama atau bias disebut dalam keadaan yang isotonic.

BAB V
SIMPULAN

Suatu sel akan mengalami plasmolisis apabila potensial air yang ada di dalam sel lebih besar dari pada potensial air yang ada di luar sel. Hal tersebut juga berarti bahwa potensial osmosis yang ada di dalam sel lebih besar daripada di luar sel.
Berdasarkan data yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kosentrasi larutan sukrosa, sel yang mengalami plasmolisis juga semakin besar jumlahnya. Sel yang mengalami plasmolisis akan mencapai 50% dari jumlah sel yang yang tampak pada satu lapang pandang, jika konsentrasi larutan   M dan tekanan osmosis yang didapat ialah 6 atm.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D, Prof. DR. 1989. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Gramedia.

Kimball, John W. 1983. BIOLOGI. Jakarta: PT Erlangga.

Loveless. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Daerah Tropik. Jakarta: PT Gramedia. 

Sasmita, Drajat ; Arbasyah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Bandung:ITB Press.

Salisbury, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Bandung:ITB Press.

Tim fisiologi tumbuhan. 2009. Penuntun Praktikum FISIOLOGI TUMBUHAN. Bandung  : Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.

Tim fisiologi tumbuhan. 2010. Penuntun Praktikum FISIOLOGI TUMBUHAN. Surabaya : Jurusan Biologi FMIPA UNESA.
Bidwell. R.G.S.1979. Plant Physiology edition 2. Macmillion Publishing. Co : New York
Dwidjoseputro. D. 1985. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar