Kamis, 16 Desember 2010

PENGARUH SUHU TERHADAP KECEPATAN RESPIRASI KECAMBAH


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa aspek fisiologi tumbuhan berbeda dengan fisiologi hewan atau fisiologi sel. Tumbuhan dan hewan pada dasarnya telah berkembang melalui pola atau kebiasaan yang berbeda. Tumbuhan dapat tumbuh dan berkembang melalui pola atau kebiasaan yang berbeda. Tumbuhan dapat tumbuh dan berkembang sepanjang hidupnya. Kebanyakan tumbuhan tidak berpindah, memproduksi makanannya sendiri, menggantungkan diri pada apa yang diperolehnya dari lingkungannya sampai batas-batas yang tersedia. Hewan sebagian besar harus bergerak, harus mencari makan, ukuran tubuhnya terbatas pada ukuran tertentu dan harus menjaga integritas mekaniknya untuk hidup dan pertumbuhan.
Suatu ciri hidup yang hanya dimiliki khusus oleh tumbuhan hijau adalah kemampuan dalam menggunakan zat karbon dari udara untuk diubah menjadi bahan organik serta diasimilasi dalam tubuh tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi pada umumnya tergolong pada organisme autotrof, yaitu makhluk hidup yang dapat mensintesis sendiri senyawa organik yang dibutuhkannya. Senyawa organik yang baku adalah rantai karbon yang dibentuk oleh tumbuhan hijau dari proses fotosintesis. Fotosintesis atau asimilasi karbon adalah proses pengubahan zat-zat anorganik H2O dan CO2 oleh klorofil menjadi zat organik karbohidrat dengan bantuan cahaya. Proses fotosintesis hanya bisa dilakukan oleh tumbuhan yang mempunyai klorofil. Proses ini hanya akan terjadi jika ada cahaya dan melalui perantara pigmen hijau daun yaitu klorofil yang terdapat dalam kloroplas.
Fotosintesis adalah suatu proses penyusunan (anabolisme atau asimilasi) di mana energi diperoleh dari sumber cahaya dan disimpan sebagai zat kimia, maka proses respirasi adalah suatu proses pembongkaran (katabolisme atau disimilasi) dimana energi yang tersimpan dibongkar kembali untuk menyelenggarakan proses–proses kehidupan.
Respirasi merupakan proses oksidasi bahan organik yang terjadi di dalam sel, berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi aerobik ini diperlukan oksigen dan dihasilkan karbondioksida serta energi. Sedangkan dalam proses respirasi secara anaerob dimana oksigen tidak atau kurang tersedia dan dihasilkan senyawa lain karbondioksida.
Pada tumbuhan tingkat tinggi respirasi terjadi baik pada akar, batang maupun daun dan secara kimiawi pada respirasi aerobik pada karbohidrat (glukosa) adalah kebalikan fotosintesis. Pada respirasi pembakaran glukosa oleh oksigen akan menghasilkan energi. Karena semua bagian tumbuhan tersusun atas jaringan dan jaringan tersusun atas sel, maka respirasi terjadi pada sel yang telah diterangkan.
Dalam kegiatan praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh suhu/temperatur terhadap kecepatan/laju respirasi. Harapan kami setelah melakukan praktikum ini, agar dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang proses respirasi serta faktor-faktot yang mempengaruhinya.


B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi pada kecambah?

C. Tujuan
Mengamati pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


Semua sel aktif terus menerus melakukan respirasi, sering menyerap O2 dan melepaskan CO2 dalam volume yang sama. Namun seperti kita ketahui, respirasi lebih dari sekadar pertukaran gas secara sederhana. Proses keseluruhan merupakan reaksi oksidasi-reduksi, yaitu senyawa dioksidasi menjadi CO2 dan O2 yang diserap direduksi menjadi H2O. Pati, fruktan, sukrosa, atau gula yang lainnya, lemak, asam organik, bahkan protein dapat bertindak sebagai substrat respirasi. (Salisbury & Ross, 1995)
Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi senyawa anorganik. Respirasi sebagai proses oksidasi bahan organik yang terjadi didalam sel dan berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi aerob diperlukan oksigen dan dihasilkan karbondioksida serta energi. Sedangkan dalam respirasi anaerob dimana oksigen tidak atau kurang tersedia dan dihasilkan senyawa selain karbondiokasida, seperti alkohol, asetaldehida atau asam asetat dan sedikit energi. (Lovelles, 1997).
Karbohidrat merupakan substrat respirasi utama yang terdapat dalam sel tumbuhan tinggi. Terdapat beberapa substrat respirasi yang penting lainnya diantaranya adalah beberapa jenis gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa; pati; asam organik; dan protein (digunakan pada keadaan & spesies tertentu). Secara umum, respirasi karbohidrat dapat dituliskan sebagai berikut:
C6H12O6   +   O2     →    6CO2   +   H2O   +   energi
Reaksi di atas merupakan persamaan rangkuman dari reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses respirasi. (Danang, 2008)
Proses respirasi diawali dengan adanya penangkapan O2 dari lingkungan. Proses transport gas-gas dalam tumbuhan secara keseluruhan berlangsung secara difusi. Oksigen yang digunakan dalam respirasi masuk ke dalam setiap sel tumbuhan dengan jalan difusi melalui ruang antar sel, dinding sel, sitoplasma dan membran sel. Demikian juga halnya dengan CO2 yang dihasilkan respirasi akan berdifusi ke luar sel dan masuk ke dalam ruang antar sel. Hal ini karena membran plasma dan protoplasma sel tumbuhan sangat permeabel bagi kedua gas tersebut. Setelah mengambil O2 dari udara, O2 kemudian digunakan dalam proses respirasi dengan beberapa tahapan, diantaranya yaitu glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, siklus krebs, dan transpor elektron. Tahapan yang pertama adalah glikolisis, yaitu tahapan pengubahan glukosa menjadi dua molekul asam piruvat (beratom C3), peristiwa ini berlangsung di sitosol. Asam Piruvat yang dihasilkan selanjutnya akan diproses dalam tahap dekarboksilasi oksidatif. Selain itu glikolisis juga menghasilkan 2 molekul ATP sebagai energi, dan 2 molekul NADH yang akan di gunakan pada transport electron. Dalam keadaan anaerob, Asam Piruvat hasil glikolisis akan diubah menjadi karbondioksida dan etil alkohol. Proses pengubahan ini dikatalisis oleh enzim dalam sitoplasma. Dalam respirasi anaerob jumlah ATP yang dihasilkan hanya dua molekul untuk setiap satu molekul glukosa, hasil ini berbeda jauh dengan ATP yang dihasilkan dari hasil keseluruhan respirasi aerob yaitu 36 ATP. Tahapan kedua dari respirasi adalah dekarboksilasi oksidatif, yaitu pengubahan asam piruvat (beratom C3) menjadi Asetil KoA (beratom C2) dengan melepaskan CO2, peristiwa ini berlangsung di sitosol. Asetil KoA yang dihasilkan akan diproses dalam siklus krebs. Hasil lainnya yaitu NADH yang akan di gunakan dalam transport electron. Tahapan selanjutnya adalah siklus asam sitrat (daur krebs) yang terjadi di dalam matriks dan membran dalam mitokondria, yaitu tahapan pengolahan asetil KoA dengan senyawa asam sitrat sebagai senyawa yang pertama kali terbentuk. Beberapa senyawa dihasilkan dalam tahapan ini, diantaranya adalah satu molekul ATP sebagai energi, satu molekul FADH dan tiga molekul NADH yang akan digunakan dalam transfer elektron, serta dua molekul CO2. Tahapan terakhir adalah transfer elektron, yaitu serangkaian reaksi yang melibatkan sistem karier elektron (pembawa elektron). Proses ini terjadi di dalam membran dalam mitokondria. Dalam reaksi ini elektron ditransfer dalam serangkaian reaksi redoks dan dibantu oleh enzim sitokrom, quinon, piridoksin, dan flavoprotein. Reaksi transfer elektron ini nantinya akan menghasilkan H2O. (I Komang Jaya Santika Yasa, 2009)



Secara sederhana, proses respirasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Glikolisis:
Glukosa   ——>  2 asam piruvat  +  2 NADH  +  2 ATP
2.      Siklus Krebs:
2 asetil piruvat   ——>  2 asetil KoA  +  2 CO2  +  2 NADH  +  2 ATP
2 asetil KoA       ——>  4 CO2  +  6 NADH   +  2 FADH2
3.      Rantai transpor elektron:
10 NADH   +  5O2  ——>  10 NAD+   +  10 H2O  +  30 ATP
2 FADH2    +  O2    ——>  2 FAD  +  2 H2O   +   4 ATP
Jadi, total energi yang dihasilkan dari proses respirasi adalah 38 ATP. (Danang, 2008).
Respirasi membutuhkan O2 dan menghasilkan zat sisa metabolisme berupa uap air, CO2 dan panas sebagai entropi (energi panas yang tidak termanfaatkan). Bila respirasi berjalan sempurna, dari pembakaram substrat (karbohidrat, lipida, atau protein) akan dihasilkan rasio CO2/O2 tertentu yang disebut dengan “Respiratory quotient” [RQ]. Respirasi dengan substrat lipida akan diperoleh RQ<1, dan RQ=1 untuk substrat glukosa. (Suyitno, 2007)
Dengan kata lain, perbedaan antara jumlah CO2 yang dilepaskan dan jumlah O2 yang digunakan dikenal dengan Respiratory Ratio atau Respiratory Quotient dan disingkat RQ. Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat untuk respirasi dan sempurna atau tidaknya proses respirasi tersebut dengan kondisi lainnya (Simbolon, 1989).
Tergantung pada bahan yang digunakan, maka jumlah mol CO2 yang dilepaskan dan jumlah mol O2 yang diperlukan tidak selalu sama. Diketahui nilai RQ untuk karbohidrat = 1, protein < 1 (= 0,8 – 0,9), lemak <1 (= 0,7) dan asam organik > 1 (1,33). Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat untuk respirasi dan sempuran tidaknya proses respirasi dan kondisi lainnya (Krisdianto dkk, 2005).
Sebagian besar energi yang dilepaskan selama respirasi kira-kira 2870 kj atau 686 kal per mol glukosa berupa bahang. Bila suhu rendah, bahang ini dapat merangsang metabolisme dan menguntungkan beberapa spesies tertentu, tapi biasanya bahang tersebut dilepas ke atmosfer atau ke tanah, dan berpengaruh kecil terhadap tumbuhan. Yang lebih penting dari bahang adalah energi yang terhimpun dalam ATP, sebab senyawa ini digunakan untuk berbagai proses esensial dalam kehidupan, misalnya pertumbuhan dan penimbunan ion. (Salisbury & Ross, 1995)
Respirasi merupakan rangkaian dari 50 atau lebih reaksi komponen, masing-masing dikatalisis oleh enzim yang berbeda. Respirasi merupakan oksidasi (dengan produk yang sama seperti pembakaran) yang berlangsung di medium air dengan Ph mendekati netral, pada suhu sedang dan tanpa asap. Pemecahan bertahap dan berjenjang molekul besar merupakan cara untuk mengubah energi menjadi ATP. Lebih lanjut, sejalan dengan berlangsungnya pemecahan, kerangka karbon-antara disediakan untuk menghasilkan berbagai produk esensial lainnya dari tumbuhan. Produk ini meliputi asam amino untuk protein, nukleotida untuk asam nukleat, dan prazat karbon untuk pigmen porfirin (seperti klorofil dan sitokrom). Tentu saja bila senyawa tersebut terbentuk, pengubahan substrat awal respirasi menjadi CO2 dan H2O tidaklah lengkap. Biasanya hanya beberapa substrat respirasi yang dioksidasi seluruhnya menjadi CO2 dan H2O (proses katabolik/penguraian), sedangkan sisanya digunakan dalam proses sintesis (anabolisme/pembentukan) terutama di dalam sel yang sedang tumbuh. Energi yang ditangkap dari proses oksidasi sempurna beberapa senyawa dapat digunakan untuk mensintesis molekul lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bila tumbuhan sedang tumbuh, laju respirasi meningkat sebagai akibat dari permintaan pertumbuhan, tapi beberapa senyawa yang hilang dialihkan ke dalam reksi sintesis dan tidak pernah muncul sebagai CO2. (Salisbury & Ross, 1995)
Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi laju respirasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Ketersediaan substrat
Respirai bergantung pada ketersediaan substrat. Tumbuhan yang kandungan pati, fruktan, atau gulanya rendah, melakukan respirasi pada laju yang rendah. Tumbuhan yang kahat gula sering melakukan respirasi lebih cepat bila gula disediakan. Bahkan laju respirasi daun sering lebih cepat segera setelah matahari tenggelam, saat kandungan gula tinggi dibandingkan dengan ketika matahari terbit, saat kandungan gulanya lebih rendah. Selain itu, daun yang ternaungi atau daun bagian bawah biasanya berespirasi lebih lambat daripada daun sebelah atas yang terkena cahaya lebih banyak. Bila hal ini tidak terjadi, maka daun sebelah bawah akan lebih cepat mati. Perbedaan kandungan gula akibat tak berimbangnya laju fotosintesis mungkin yang menyebabkan laju respirasi yang lebih rendah pada daun yang ternaungi. (Salisbury & Ross, 1995)
2.      Ketersediaann oksigen
Ketersediaan oksigen akan mempengaruhi laju respirasi, namun besarnya pengaruh tersebut berbeda bagi masing-masing spesies dan bahkan berbeda antara organ pada tumbuhan yang sama. Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari oksigen yang tersedia di udara. (I Komang Jaya Santika Yasa, 2009)
3.      Suhu
Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor Q10, dimana umumnya laju reaksi respirasi akan meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC, namun hal ini tergantung pada masing-masing spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies tumbuhan, Q10 respirasi biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 dan 25°C. Bila suhu meningkat lebih jauh sampai 30 atau 35°C, laju respirasi tetap meningkat, tapi lebih lambat, jadi Q10 mulai menurun. Penjelasan tentang penurunan Q10 pada suhu yang tinggi ini adalah bahwa laju penetrasi O2 ke dalam sel lewat kutikula atau periderma mulai menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Difusi O2 dan CO2 juga dipercepat dengan peningkatan suhu, tapi Q10 untuk proses fisika ini hanya 1,1 ; jadi suhu tidak mempercepat secara nyata difusi larutan lewat air. Peningkatan suhu sampai 40°C atau lebih, laju respirasi malahan menurun, khususnya bila tumbuhan berada pada keadaan ini dalam jangka waktu yang lama. Nampaknya enzim yang diperlukan mulai mengalami denaturasi dengan cepat pada suhu yang tinggi, mencegah peningkatan metabolik yang semestinya terjadi. Pada kecambah kacang kapri, peningkatan suhu dari 25 menjadi 45°C mula-mula meningkatkan respirasi dengan cepat, tapi setelah dua jam lajunya mulai berkurang. Kemungkinan penjelasannya ialah jangka waktu dua jam sudah cukup lama untuk merusak sebagian enzim respirasi. (Salisbury & Ross, 1995)
4.      Jenis dan Umur Tumbuhan
Masing-masing spesies tumbuhan memiliki perbedaan metabolsme, dengan demikian kebutuhan tumbuhan untuk berespirasi akan berbeda pada masing-masing spesies. Tumbuhan muda menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dibanding tumbuhan yang tua. Demikian pula pada organ tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan. (I Komang Jaya Santika Yasa, 2009)
.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang kami gunakan adalah eksperimen karena menggunakan beberapa variabel yaitu variabel kontrol, variabel manipulasi dan variabel respon. Selain itu juga menggunakan pembanding dalam penelitian.

B. Variabel Penelitian
a)      Variabel kontrol:
-          Ukuran erlenmeyer
-          Volume larutan NaOH
-          Konsentrasi NaOH
-          Jenis kecambah
-          Berat kecambah
-          Umur kecambah
-          Waktu penyimpanan kecambah
-          Bungkus kecambah (kain kasa)
-          Pengikat
-          Plastik penutup
-          Volume BaCl2
-          Jumlah tetesan PP
b)      Variabel manipulasi:
-          Suhu
c)      Variabel respons:
-          Kecepatan respirasi kecambah
C. Alat dan Bahan
·         Alat
-          Erlenmeyer 250 ml                  6 buah
-          Neraca                                     1 buah
-          Buret                                       1 set
-          Pipet                                        1 buah
·         Bahan
-          Kecambah kacang hijau umur 1 hari            30 gram
-          Larutan NaOH 0,5 M                                  180 ml
-          Larutan HCl 0,5 M                                     
-          Larutan BaCl2 0,5 M                                    15 ml
-          Larutan Phenolftalin (PP)                           
-          Kain kasa                                                    
-          Benang                                                        
-          Plastik                                                         

D. Langkah Kerja
  1. Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan.
  2. Menyiapkan 6 erlenmeyer lalu mengisi masing-masing dengan 30 ml larutan NaOH 0,5 M.
  3. Menimbang 5 gram kecambah yang disediakan kemudian membungkus dengan kain kasa dan diikat dengan seutas tali. Masing-masing 2 sampel untuk suhu ruangan dan 2 sampel untuk suhu dalam inkubator.
  4. Memasukkan kedalam Erlenmeyer dan menggantungkan bungkusan kecambah tersebut di atas larutan NaOH dengan bantuan tali. Kemudian menutup rapat-rapat botol tersebut dengan plastik.
  5. Menyimpan 2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa kecambah (kontrol) masing-masing pada suhu ruangan 290C dan yang lain di dalam inkubator dengan suhu 380 C.
  6. Setelah 24 jam, melakukan titrasi untuk mengetahui jumla gas CO2 yang dilepaskan selama respirasi kecambah.
  7. Mengambil 5 ml larutan NaOH dalam botol kemudian memasukkan dalam Erlenmeyer. Setelah itu menambahkan 2,5 ml BaCl2 dan menetesi dengan 2 tetes PP sehingga larutan berwarna merah. Selanjutnya larutan tersebut dititrasi dengan HCl 0,5 M. Titrasi dihentikan setelah warna merah tepat hilang.

E. RANCANGAN PENELITIAN



Add caption
 


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1.      Tabel
Tabel Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Respirasi Kecambah.
Suhu
Erlenmeyer
Volume HCl (ml)
Volume CO2 yang terikat (ml)
Total CO2/30 ml
Volume CO2 hasil respirasi (ml)
29oC
(Ruangan)
1
0,4
4,3
27,6
1,2
2
0,4
4,3
27,6
3
0,6
4,2
26,4
38oC
(Inkubator)
1
0,7
4,6
25,8
0,6
2
0,7
4,6
25,8
3
0,8
4,4
25,2
Keterangan :
1  : Kecambah
2  : Kecambah
3   : Kontrol


2.      Histogram
Histogram Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Respirasi Kecambah

B.     ANALISIS DATA
Berdasarkan tabel dan histogram diatas maka dapat dilihat bahwa besarnya suhu mempengaruhi kadar CO2 yang dilepaskan pada proses respirasi kecambah, dimana pada suhu inkubator (380C) volume CO­2 yang dilepaskan oleh kecambah yaitu 1,2 ml, yang nilainya lebih besar daripada volume CO2 yang dilepaskan pada suhu ruang (290C) sebesar 0,6 ml. Volume CO2 yang merupakan hasil respirasi kecambah diperoleh dari volume CO2 total yang dikeluarkan pada suhu ruangan (290C) dikurangi dengan volume CO2 total kontrol (tanpa kecambah) pada suhu ruangan (290C) yakni 25,8 – 25,2 = 0,6  ml. Volume CO2 yang terikat (kontrol) nilainya lebih rendah yakni 4,2 ml dibandingkan volume CO2 yang terikat (ada kecambah) yakni 4,3 ml, sedangkan volume HCl yang diperlukan untuk mengubah warna larutan, didapatkan nilai sebesar 0,8 ml (kontrol) dan 0,7 (ada kecambah).
Pada suhu inkubator (380C) diperoleh nilai volume HCl yang diperlukan untuk mengubah warna larutan, didapatkan 0,4 (untuk kontrol tanpa kecambah) dan 0,6 (untuk ada kecambah). Volume CO2 yang terikat, didapatkan nilai 4,6 ml untuk yang ada kecambahnya yang nilainya lebih besar dari kontrol/tanpa kecambah yang bernilai 4,4. Volume CO2 hasil respirasi kecambah sebesar 1,2 ml yang diperoleh dengan mengurangkan volume CO2 total yang dikeluarkan pada suhu inkubator (dengan ada kecambah) dengan pada suhu inkubator (kontrol/tanpa kecambah) yakni 27,6 – 26,4 = 1,2 ml.

C. Pembahasan
Berdasarkan analisis diatas maka dapat diketahui bahwa besarnya suhu mempengaruhi kadar CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi kecambah, dimana pada suhu inkubator (380C) diperoleh volume CO2 hasil respirasi lebih besar dibandingkan pada suhu ruangan, yakni sebesar 1,2 ml. Hal ini dikarenakan pada suhu inkubator, keadaan suhunya dibuat konstan (stabil), dimana pada suhu yang konstan (stabil) kerja enzim akan lebih optimal tanpa mengalami kerusakan. Seperti yang kita ketahui bahwa proses respirasi melibatkan kerja berbagai enzim. Karena enzim tidak mengalami kerusakan maka enzim akan mempercepat pengubahan glukosa menjadi karbon dioksida. Oleh karena itu, CO2 yang dilepaskan dari respirasi kecambah lebih besar. Selain itu, pada suhu yang lebih tinggi volume CO2 akan lebih banyak diikat oleh NaOH sehingga kadar COyang dilepaskan makin besar.
Pada suhu ruangan (290C) volume CO2 hasil respirasi kecambah lebih rendah daripada suhu inkubasi (380C), yakni sebesar 1,2 ml. Hal ini dikarenakan pada suhu yang lebih rendah, kerja enzim tidak optimal sehingga mengakibatkan reaksi pengubahan glukosa menjadi CO2 lebih lambat sehingga volume CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi lebih sedikit. Selain itu, pada suhu yang lebih rendah, volume CO2 akan lebih sedikit diikat oleh NaOH sehingga CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi lebih kecil.
Kontrol pada percobaan ini ialah erlenmeyer yang hanya diisi NaOH tanpa kecambah, ternyata menunjukkan nilai respirasi yang lebih rendah. Pada erlenmeyer tanpa kecambah diduga terdapat mikroorganisme yang melakukan respirasi, karena selama melakukan praktikum semua alat yang digunakan tidak disterilkan. Alasan lain mengapa respirasi pada NaOH ada kecambah lebih cepat respirasinya dan CO2 yang dihasilkan lebih banyak dibanding dengan respirsi pada NaOH saja, hal ini dikarenakan respirasi juga dipengaruhi oleh substrat untuk oksidasi dalam metabolisme respiratoris. Dan umumnya substrat untuk respirasi adalah zat yang tertimbun dalam jumlah yang relative banyak dan proses metabolisme melibatkan serangkaian reaksi enzimatis yang juga melibatkan enzim, maka kecepatan respirasi pada Erlenmeyer yang ada kecambahnya juga dipengaruhi oleh enzim-enzim yang terdapat dalam kecambah dan enzim akan meningkat bila suhu juga tinggi namun apabila suhu terlalu tinggi juga akan merusak enzim. Sedangkan tabung erlenmeyer yang hanya berisi NaOH saja respirasinya lambat dan CO2 yang dihasilkan sedikit. Hal ini karena tidak dipengaruhi oleh enzim.


BAB V
SIMPULAN

Suhu mempengaruhi kecepatan respirasi kecambah. Respirasi pada kecambah lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Makin banyak CO2 yang dibebaskan, maka proses respirasi makin cepat.

DAFTAR PUSTAKA


Danang. 2008. Fotosintesis dan Respirasi. (Online), (http://www.indoskripsi.com, diakses tanggal 1 November 2010).

Krisdianto, dkk. 2005. Penuntun Praktikum Biologi Umum. Banjarbaru: FMIPA Universitas Lambung Mangkurat.

Lovelles. A. R. 1997. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah Tropik. Jakarta: PT Gramedia.

Salisbury, Frank and Ross, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: Penerbit ITB

Simbolon, Hubu, dkk. 1989. Biologi Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Suyitno. 2007. Petunjuk Praktikum Fisiologi Tumbuhan Dasar. Yogyakarta: FMIPA UNY

Yasa, I Komang Jaya Santika. 2009. Respirasi Dipengaruhi oleh Beberapa Faktor. (Online), (http://www.idonbiu.com, diakses tanggal 1 November 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar